
Islam lahir sebagai sebuah agama yang
mencita-citakan kedamaian dan kerukunan selalu hadir dan tetap tejaga dengan
baik. Meski demikan, kedamian dan kerukunan sering kali goyah akibat
meruncingnya perbedaan-perbedaan yang ada ditengah-tengah masyarakat. Oleh karena
itu, Islam telah mengambil peran yang sangat penting dalam hal ini. Islam memiliki
pandangan tersendiri bahwa dalam menyikapi setiap perbedaan, baik itu perbedaan
agama, suku, ras ataupun budaya haruslah didasari dengan kepahaman dan yang menjadi titik temunya
adalah kerukunan. Al-Quran menegaskan ini dalam surat Al-Hujurat Ayat ke 13
yang mengatakan; “Wahai manusia! Sungguh, kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di
sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa”. Isyarat yang disampaikan
dalam ayat ini adalah bahwa dalam bermasyarakat kita harus melahirkan rasa
toleransi, keberterimaan, keterbukaan dan kita perlu saling mengenal dengan
baik. Lebih jauh dari itu, Islam merumuskan istilah “wasathan (moderasi)”
sebagai referensi ummat dalam menyikapi setiap hal yang ada ditengah-tengah
masyarakat. Istilah tersebut dikenal dengan Islam Wasathiyyah atau dalam bahasa
yang lebih sederhana yaitu Islam Moderat.
Islam Wasathiyyah merupakan satu istilah yang menjelaskan nilai-nilai
Islam yang lurus, Islam rahmatan lil aalamin, Islam yang tidak mudah
menjustifikasi kelompok lain salah dan sesat ketika berbeda pendapat, Islam
yang penuh akan keberterimaan, Islam yang penuh dengan kehati-hatian dalam memaknai realita sosial,
Islam yang tidak menghina sesembahan orang lain dengan sebutan-sebutan yang
tidak baik, Islam yang selalu terbuka mendengarkan pendapat orang lain tanpa
harus mengucilkannya, Islam yang secara konsisten menjaga toleransi umat
beragama. Islam yang sebagaimana dalam Al-Quran disebutkan “ihdinassiro
tallmusstaqim” (tunjukilah kami jalan yang lurus). Makna lurus dalam ayat
ini akan dapat dicapai ketika praktik keislaman itu sesuai dengan esensi yang
seharusnya dijalankan. Tentunya bukan Islam yang dikaitkan dengan nilai-nilai
radikal yang dalam pandangannya kelompok lain ataupun agama lain tidak memliki
sisi kebenaran dan harus disingkirkan. Tidak juga Islam yang mendahulukan
praktik sosial sehingga meninggalkan nilai-nilai prinsip yang pokok dalam agama
Islam itu sediri. Islam Wasatiyyah mengajak umat untuk beragama dengan cara
yang profesional dan proporsional. Makna profesional ialah kita sungguh-sungguh
dalam menjalankan perintah agama.
Profesionalitas dalam beragama inilah yang dalam pengertian Islam Washatiyyah
harus diiringi secara proporsional. Maksud dari kata proporsional ini ialah bahwa agama ini dijalankan sesuai
dengan kaidah yang ditetapkan tanpa harus melebih-melebihkan. Proporsi yang menjadi ketetapan agama tidak boleh
dikurangi ataupun ditambahkan, terlebih lagi ketika itu memunculkan ketegangan-ketegangan
sosial. Salah dalam memahami kaidah agama bisa meruncingkan perbedaan pendapat
yang menyebabkan haromonisasi sosial menjadi terganggu. Maka Islam Wasatiyyah
hadir untuk menjawab fenomena-fenomena yang mendegradasi nilai toleransi umat
beragama yang terjadi dinegeri ini dengan mengajarkan bahwa Islam yang rahmatan
lil alamin itu adalah Islam yang lurus, adil dan seimbang. Islam yang
mengedepankan moderasi atau yang dimaknakan juga Islam yang berada pada jalur
tengah dan penuh kehati-hatian dalam memaknai realita sosial yang secara terus
menerus mulai menyentuh nilai-nilai agama. Sebagaimana ungkapan didalam
Al-Quran surat Al-Baqarah (2): 143) yang menerangkan;
“Demikianlah kami jadikan kamu ummatan
wasathan (umat pertengahan) supaya kamu menjadi saksi atas perbuatan
manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas perbuatan kamu”
Makna “wasathan” dalam ayat ini dijelaskan bahwa umat Islam sebagai umat terbaik, umat
pilihan, umat yang adil dan seimbanng dalam kehidupannya. Dengan demikian untuk mewujudkan makna “wasathan” dalam
surah Al-Baqarah tersebut, sebagai umat moyoritas dinegeri ini sudah sepatutnya kita kompak, utuh dan
bersatu. Mencoba melapangkan hati dan menjalin saling keberterimaan dengan
baik, menghargai pendapat satu sama lain, merawat kebhinekaan, menjaga segala
bentuk toleransi, dan istiqomah mengawal Negara Republik Indonesia tetap dalam
integrasi yang kokoh serta merangkul setiap elemen sosial baik dalam peraktik
budaya, politik dan agama.
Indonesia sebagai negara yang kaya akan
kebhinekaan menjadi wadah yang tepat dalam memperaktikkan Islam Wasathiyyah. Dalam praktik bernegara Islam Wasathiyyah patut mengambil peran yang sangat penting demi
terciptanya harmonisasi sosial. Islam Wasathiyyah menjadi refrensi yang sangat
akurat untuk merawat negeri ini agar toleransi umat beragama tetap terkawal
dengan baik, sehingga benturan-benturan yang lahir karena kebhinekaan yang
berpotensi menimbulkan konflik bisa teratasi dengan baik. Euforia politik yang
terjadi di negeri ini menjadi satu fenomena bernegara yang nyaris
memporak-porandakan integritas bangsa, meracuni ukhuwah insaniyah, ukhuwah
wathaniyah dan bahkan nyaris merusak ukhuwah islamiyah. Praktik
politik dalam bernegara selalu menjadi sorotan
yang paling tajam terhadap terganggunya harmonisasi sosial, tidak jarang
dijumpai euforia politik membawa dampak polarisasi yang massif dalam kehidupan
bernegara. Indonesia yang pada dasarnya adalah negara kepulauan, kaya akan
identitas etnis, adat istiadat dan budaya, serta dikenal dengan identitas agama
yang beragam, dan masyarakat yang mudah terpengaruh menjadi sasaran empuk
praktik politik identitas yang sewaktu-waktu mendisharmonisasi kebhinekaan.
Praktik-praktik seperti ini akan sangat berpengaruh pada kondisi sosial
masyarakat yang kemudian akan mendegradasi nilai-nilai moral, nilai-nilai agama
yang seharusnya menjadi argumentasi dalam mencita-citakan masyarakat yang
damai, beradab dan berilmu pengetahuan. Permainan media massa juga ikut serta
dan mengambil bagian yang memberi dampak kurang baik terhadap romantisme
bernegara. Dapat disaksikan bagaimana media massa menciptakan polarisasi baru
ketika menyampaikan narasi-narasi politik, tidak sedikit ditemukan
narasi-narasi yang disampaikan cendrung provokatif dan kaya akan kepentingan.
Hal yang paling disoroti dari femomena bernegara dinegeri ini ialah bahwa
narasi-narasi politik sering kali dibingkai menggunakan bahasa-bahasa agama. Saling
menjatuhkan, saling menghinakan, saling mencela dan mencaci maki, bahkan tidak
sedikit dijumpai prilaku saling mensesatkan lantaran berbeda pandangan politik.
Dengan demikian, implikasi Islam Wasathiyyah dalam mengelola negeri ini sangat dibutuhkan. Islam
yang mengajarkan untuk menjalankan kehidupan ini secara seimbang, proporsional
dan berkeadilan. Oleh karena itu, Islam membagi ruang-ruang yang tertata rapi
sebagai refrensi ummat dalam menjalankan hidupnya sebagai makhluk sosial.
Diantaranya ruang-ruang yang dimaksud ialah ruang muamallah, ruang akidah,
dan ruang syariah. Islam mengajarkan untuk tidak berlebih-lebihan dalam
segala hal. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw.
“Hindarkanlah dirimu dari sikap melampaui
batas, karena sesungguhnya orang-orang sebelum kamu telah binasa karenanya”. (HR. Ahmad, Nasai, Ibu Majah dari Abdullah
bin Abbas).
Pesan yang mendalam dari Rasulullah Saw.
Mengingatkan bahwa setiap hal haruslah berada pada kaidah dan ketetapan yang
berlaku. Tidak berlebih-lebihan dan tidak juga berkekurangan. Pedoman inilah
yang harus dimengerti dengan baik dalam peraktik bernegara. Ruang-ruang yang
tersedia harus diisi berdasarkan porsi dan kegunaannya masing-masing. Dalam hal
ini ialah Ruang Muamallah, yang dalam perspektif Islam merupakan ruang untuk
memperaktikkan segala bentuk kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya. Maka ruang inilah yang menjadi tolak ukur menjalankan
sebuah negara, tolak ukur dalam berpolitik, tolak ukur dalam berbudaya, dan
tolak ukur dalam bermasyarakat yang baik. Sangat keliru jika bersosial,
berpolitik dan berbudaya harus dibawa ke ruang akidah. Dalam Islam ruang akdiah merupakan hablumminallah
yakni hubungan manusia dengan Allah dan hanya Allah lah yang berhak menilai
itu. Manusia tidak akan menjadi kafir ataupun sesat karena berbeda pandangan
politik, manusia tidak akan tercela lantaran berbeda budaya, manusia tidak akan
hina lantaran berbeda kepercayaan dan manusia tidak boleh dikucilkan lantaran
berbeda pendapat. Inilah ruang muamallah, ruang yang sangat tepat untuk
dijadikan refrensi dan tolak ukur dalam bernegara sehingga hal-hal yang
sifatnya bhineka dan segala hal yang berpotensi menghasilkan perbedaan pendangan
dapat disikapi dengan bijak agar semua praktik-praktik dalam bernegara baik itu
praktik sosial, politik, ekonomi dan budaya tetap berada pada koridornya
masing-masing. Wallahua’lam…
Penulis : Indrawan Nur Fuadi